MAKNA HALAL BIHALAL
A. Pendahuluan
Halal
bihalal merupakan tradisi masyarakat Indonesia
yang dilakukan sesudah hari lebaran baik di kalangan instansi pemerintah, perusahaan dan dunia pendidikan. Kegiatan ini tentu saja menjadi tradisi tahunan yang unik dan tetap dipertahankan serta dilestarikan. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling
berbagi kasih sayang
pasca lebaran.
Dalam
kenyataannya, perjalanan hidup manusia selalu tidak bisa luput dari dosa. Dosa yang paling sering dilakukan adalah kesalahan terhadap sesamanya, seperti iri hati, permusuhan dan saling menyakiti. Halal
bihalal merupakan peristiwa penting untuk saling memaafkan, baik secara
individu
maupun kelompok.
Dalam kacamata Islam, halal bihalal bertujuan untuk menghormati sesama manusia dalam bingkai silaturahmi. Halal bihalal dilihat dari sisi silaturahmi dapat menjadi perantara untuk
memperluas rezeki dan
memperpanjang umur, sebagaimana keterangan sebuah
hadis dari Abu Hurairah ra, ia
berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barangsiapa yang
ingin
diluaskan
rezekinya dan dipanjangkan
umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi”.
B. Pendekatan Halal Bihalal
Ada baiknya kita mengetahui arti penting halal bihalal yang dapat ditinjau dari 3 (tiga)
pendekatan, yaitu pendekatan bahasa, pendekatan hukum dan
pendekatan al-Quran, sebagai berikut:
Pertama, pendekatan dari segi bahasa, karena halal bihalal merupakan budaya yang hanya ada
di Indonesia dan istilahnya
memakai bahasa Arab, maka
untuk mengartikan halal bihalal digunakan pendekatan bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, halal
bihalal berarti acara maaf-maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan
dalam bahasa Arab, halal bihalal
berasal dari kata “Halla atau Halala”
yang mempunyai banyak arti
sesuai dengan konteks kalimatnya, antara
lain:
penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan
benang kusut, mencairkan
yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Karena itu, melalui pendekatan kedua bahasa di
atas, maka arti halal bihalal adalah suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi,
sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia
dari benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas
dari dosa.
Kedua, pendekatan dari segi hukum. Dalam hukum
Islam (Fiqih), kata halal lawan dari haram. Halal adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan.
Sedangkan haram adalah suatu tuntutan
untuk ditinggalkan
atau perbuatan yang melahirkan dosa
dan mengakibatkan siksaan.
Jadi dengan adanya halal bihalal bagi
yang melakukannya akan terbebas
dari semua dosa.
Dengan demikian, makna
halal bihalal ditinjau dari segi hukum adalah menjadikan sikap
yang tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Hal tersebut dapat tercapai
bila
syarat-syarat lain terpenuhi, yaitu syarat
taubat, di antaranya menyesali perbuatan, tidak
mengulangi lagi, meminta maaf dan
jika berkaitan dengan barang maka dikembalikan kecuali
mendapat ridha
dari pemiliknya.
Ketiga, pendekatan
dari segi tinjauan Qur’ani. Kata halal dalam al-Qur’an
dapat ditemukan dalam 6 ayat yang terdapat dalam lima surat, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata haram yaitu dalam surat An-Nahl
ayat 116 dan surat Yunus ayat 59. Dalam surat An-Nahl
ayat 116, artinya
: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan haram” untuk mengadakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung. (Q.S. An-Nahl: 116). Selanjutnya dalam surat Yunus ayat 59 juga digandengkan, sebagai berikut : Katakanlah : “terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan
Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah “apakah Allah memberikan izin kepadamu (tentang ini)
atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?”(Yunus:
59).
Sedangkan keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kuluu artinya makanlah dan
kata
thayyibah artinya yang baik.
Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Baqarah : 168, surat al-Anfal :
69, surat al-Maidah: 88 dan surat an-Nahl : 116. Dalam surat al-Baqarah : 168 artinya :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.” (al-Baqarah:
168).
Dijelaskan
juga dalam surat al-Anfal ayat 69, artinya : Maka makanlah dari sebagian
rampasan perang yang telah
engkau ambil itu, sebagi makanan yang halal lagi baik, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang
(al- Anfaal: 69). Surat Al-Maidah ayat 88, artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari
apa yang Allah telah rizkikan kepadamu,
dan bertaqwalah kepada
Allah yang kamu beriman
kepada-Nya (al-maidah: 88).
Terakhir dalam
surat an-Nahl ayat 166 artinya : Maka makanlah yang halal lagi baik dari
rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada- Nya saja menyembah. (an-Nahl: 116).
Jadi kata halal dalam surat
tersebut di atas selain dirangkaikan dengan kata haram dan
kulu, juga dirangkaikan dengan kata thayyib yang berarti “baik lagi menyenangkan”.
Dengan demikian, al-Qur’an menuntut setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia
baik dalam berpolitik,
berdagang, berpakaian, berbicara, berhubungan sesama manusia
dan lain-lain,
maka
harus sesuatu yang baik dan menyenangkan semua
pihak, artinya ketika kita berdagang
atau berbisnis kita
dituntut untuk tidak menipu, curang,
dan berbohong.
C. Asal Usul Tradisi
Halal Bihalal
Di Mekkah dan Madinah, tradisi halal bihalal tidak dikenal. Karena
itu, bisa dikatakan halal bihalal made in Indonesia atau ciptaan umat Islam Indonesia atau dalam bahasa
Prof. Dr. Quraish Shihab adalah hasil pribumisasi ajaran
Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara.
Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08 April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat
Idul Fitri, Pangeran
Sambernyawa mengadakan pertemuan antara
raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Dalam
budaya Jawa,
seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai
lambang penghormatan dan permohonan
maaf.
Sumber lainnya adalah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di mana
Belanda datang
lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam
dan membuat sejumlah tokoh menghubungi
Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan
Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi. Tujuannya adalah agar
lebaran menjadi
ajang
saling memaafkan
dan menerima keragaman
dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa.
Kemudian, Presiden Soekarno
menyetujui
dan dibuatlah kegiatan halal bihalal yang dihadiri
tokoh dan elemen bangsa
sebagai perekat hubungan silaturahmi
secara nasional. Sejak saat itu,
semakin maraklah tradisi halal bihalal dan tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan
bagi keluarga, tetangga, rekan kerja dan
umat beragama.
D. Kesimpulan
Halal
bihalal merupakan tradisi khas yang merefleksikan bahwa Islam adalah agama
toleransi, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan
semua agama. Pesan universal
Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan kesalahan
orang
lain dan sarana
untuk saling berlomba-lomba dalam
kebaikan sehingga tetap menjadi
warna tersendiri bagi masyarakat muslim
Indonesia.
Terlepas dari makna sebenarnya kegiatan halal bihalal tergantung pada niat orang yang menggelarnya dan perspektif setiap
masyarakat dari mana
menilainya.
Jangan sampai silaturahmi
hanya sebatas simbol kepedulian
dan ajang pencitraan
untuk memenuhi agenda tahunan
dalam rangka
memeriahkan hari raya kemenangan.
0 comments:
Post a Comment